Felisa (Cerita Pendek)
Lauta, merupakan seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki dengan rambut ikal yang kalo sudah mulai panjang terlihat seperti bulu-bulu domba namun berwarna hitam. Suka banget sama yang namanya kopi, dia juga merupakan penggemar dari Sheilla On 7, “Perhatikan, Rani” adalah lagu kesukaannya.
Lauta memiliki
cukup banyak teman, dia adalah tipe anak tongkrongan yang rada-rada ga punya
rasa malu. Dia bahkan pernah tiba-tiba nyanyi dengan kencang dan penuh percaya
diri pas lagi nongkrong di cafe
yang cukup ramai, yang membuat
orang-orang disekitar nya kaget dan tentu saja melihat kearah nya.
Bukan perkara
yang susah bagi Lauta untuk berteman dengan orang lain, dia sangat suka
mengobrol yang lantas membuatnya gampang akrab dengan orang-orang disekitarnya.
Pernah suatu hari dia pergi nongkrong sendirian di sebuah Cafe di daerah
Jagakarsa Jakarta Selatan, sore itu semua kursi terlihat penuh, sedangkan Lauta
yang menggunakan speda motor Vario 125 warna hitam tahun 2018 tidak mungkin
pulang sebab kondisi hujan saat dia sampai di café tersebut, lalu dengan santainya dia
bergabung ke meja dua orang wanita yang sama sekali tidak dikenalnya kemudian berkenalan dan
berteman hingga kini.
Lauta bekerja
disebuah perusahan IT yang cukup terkenal di negeri ini, yang walaupun tengah
diterpa pandemi, tetap berdiri kokoh dengan berbagai project yang tengah ditangani, bahkan justru semakin
berkembang karena hampir semua hal beralih ke digital. Saat perusahan lain
berjuang mati-matian mempertahankan nasib perusahaannya dengan berbagai cara,
tempat kerja Lauta justru sering membagikan bonus bulanan kepada para
karyawannya.
Lima bulan sejak
pemerintah menganjurkan hampir semua perusahaan untuk memberlakukan system
kerja Work From Home atau WFH memperkuat keinginan Lauta untuk memulai sesuatu
yang baru, waktu yang sangat cukup untuk dia memikirkan dengan matang keputusan
yang akan diambilnya. Sore hari di selasa pertama bulan Agustus, dia
menyampaikan keinginannya kepada orang tua, teman-teman dan Felisa yang
merupakan pacarnya sejak pertama menginjakan kaki di Jakarta untuk resign dari
tempat ia bekerja sekarang.
Setelah dinyatakan non reactive pada tes swab yang terpaksa ia lakukan agar nyaman bertemu dengan Felisa yang merupakan seorang bidan di salah satu rumah sakit swasta di daerah Jakarta Timur, akhirnya sabtu malam di minggu pertama Agustus mereka ketemu kembali. Menggunakan hoodie hitam bertuliskan adidas di bagian dada dengan celana jeans biru tua yang baru saja di setrikanya sore tadi, Lauta berasa sangat percaya diri untuk bertemu sang kekasih.
. . . . . . . . . . . . .
Pasmina hitam yang melingkar dikepala
dengan riasan natural membut Felisa terlihat begitu cantik di hadapan Lauta,
tubuh ramping dengan mata yang berbinar akibat pantulan sinar lampu diruang
tunggu membuat pesona nya semakin menjadi-jadi. Felisa tinggal disebuah kost
yang berbentuk seperti asrama, lawan jenis hanya boleh diperkenankan berkunjung
hingga ruang tunggu, itupun menjadi area keluar masuk para penghuni asrama.
Setelah meletakan segelas teh hangat yang
berada di tengah-tengah tiga sofa merah yang membentuk setengah lingkaran, Felisa
duduk di sebelah Lauta sembari berkata “gimana tadi dijalan, macet ga sih?”
“Engga kok, lancar-lancar aja” jawab Lauta
dengan cepat. Ia seolah tidak sabar untuk segera membahas tentang rencana nya
untuk resign.
“Eeee, kamu bener baik-baik aja kan,
dirumah sakit aman aja kan Fel” lanjut Lauta.
“Kamu mau kita membahas tentang rencana
resign mu itu sekarang banget ya?” jawab Felisa dengan raut muka yang tiba-tiba
berubah menjadi serius, terlihat dari kerutkan alisnya.
“Fel maaf ya” kata Lauta perlahan.
“Gapapa Lauta, kamu tau ga sih, kalo lagi
ada sesuatu yang kamu fikirin, sikap kamu berubah jadi ga nyaman gitu” jawab Felisa.
“Kamu ingetkan, waktu kamu ga sengaja
mecahin mug ayah aku , terus kamu sembunyin selama 2 hari? Terus tiba-tiba kamu
minta maaf dan ngaku” sambil senyum Felisa melanjutkan.
“hehee iya iyaa” jawab Lauta sambil senyum
malu.
“Jadi gimana?” kata Felisa memperjelas.
“Kamu tau kan aku punya mimpi untuk
membangun usaha ku sendiri, aku merasa ini adalah waktunya Fel” kata Lauta.
“Oke, kenapa kamu merasa sekarang adalah
waktunya?” tanya Felisa lagi.
“Aku selalu yakin Fel, jika ada suatu
variabel di dunia ini yang berubah maka akan mendorong variabel lain untuk ikut
berubah, entahlah aku merasa setelah pandemi ini selesai harusnya akan ada
sesuatu yang baru menjadi bersinar dan akan ada sesuatu yang lama menjadi redup,
dan aku ingin menjadi sesuatu yang bersinar itu”
Felisa terdiam, lalu dia melihat tajam ke
arah Lauta “Maksudnya, kamu akan memulai rencana usaha yang sempat kamu ceritain
ke aku beberapa waktu yang lalu itu?”
“iya Fel” jawab Lauta dengan perlahan.
Jawaban yang begitu singkat namun memiliki
makna yang begitu dalam bagi mereka berdua, setetes air mata yang tak
tertahanpun mengalir membasahi pipi Felisa malam itu, bersama dengan rintikan hujan yang juga tiba-tiba datang.
“Kamu akan pulang?” tanya Felisa kembali sembari
mengusap mata nya yang udah penuh dengan linangan air.
“Fel, aku sayang banget sama kamu dan kamu
tau itu, tapi seperti yang aku bilang tadi disetiap perubahan variabel yang
terjadi akan menyebabkan variabel lain ikut berubah, kamu ngertikan maksud
aku”.
Felisa mengangguk meng-iya-kan pernyataan Lauta,
“iya aku ngerti kok, lagian aku juga gamau menghambat kamu untuk mengejar mimpi
mu itu,” Jawab Felisa.
“Aku juga yakin kalo kamu pasti akan
berhasil” lanjut Felisa.
“Kamu semangat ya” sambil tersenyum manis
seolah memberikan aba-aba bahwa dia akan baik-baik saja.
Malam itu menjadi pertemuan terakhir
mereka, Felisa dan Lauta bukanlah tipe orang yang bisa menjalani hubungan jarak
jauh, sejalan dengan itu juga pilihan bersama untuk break menjadi
pengorbanan awal yang cukup besar bagi Lauta untuk mengejar mimpi nya, sesekali
ia bahkan meneteskan air mata saat melihat foto-foto kenangan mereka di arsip
postingan Instagram nya, cukup lumayan melow memang untuk ukuran laki-laki 26
tahun, tapi mau bagaimana lagi hati tidak bisa bohongi.
. .
. . . . . . . . . . . .
Sembilan belas bulan setelah malam itu, Lauta
kini telah berada di Palembang, dia sukses membangun usaha empek-empek khas
Palembang yang begitu banyak diminati orang-orang, jaringan nya yang luas dari
pekerjaan sebelumnya membuat dia bahkan mampu memasarkan produknya tidak hanya
di area Palembang saja, bahkan mantan atasannya sendiri menjadi pelanggan
setia.
Pemahaman Lauta terkait dunia maya dan
pengalamannya di industry digital membuat usahanya dikenal di berbagai daerah,
hanya dalam waktu yang singkat saja dia bahkan sudah memiliki franchise di
beberapa kota di Indonesia, Lauta kini menjadi pebisnis muda.
“Mas Lauta, ada proposal franchise lagi
nih” kata salah satu karyawan Lauta menghampiri nya di depan pintu kaca yang
dilapisi stiker anti cahaya matahari.
“Proposal dari mana ya?”jawab Lauta cepat.
“Dari Jakarta mas, lengkapnya sih sudah aku
teruskan ke emailnya mas Lauta” kata karyawannya yang mencoba menjelaskan.
“Lumayan juga sih mas, dia mau buka di dua
tempat sekaligus”.
“Tadi aku udah sempat pelajari, dan oke sih
kayaknya”. Lanjutnya sembari membetulkan kaca mata yang agak sedikir bergeser.
“Oh oke, nanti saya pelajari deh, makasih
ya” jawab Lauta cepat.
“Saya duluan ya, ada meeting di luar nih”
“Oh iya, baik mas” jawab karyawan nya.
Sekitar pukul 3 sore sambil menunggu rekan
bisnisnya, Lauta mencoba membuka email yang disampaikan oleh karyawannya tadi,
dengan segelas coffe latte tanpa gula yang telah menjadi kesukaanya semenjak
kuliah, satu persatu isi proposal franchise tersebut ia pelajari.
Sebuah rencana pemasaran yang cukup apik
bahkan iya temukan di proposal tersebut, jelas sekali bahwa orang yang
mengajukan diri untuk menjadi partner franchise nya ini telah memikirkan
semuanya dengan begitu matang, ini adalah suatu kesempatan yang cukup baik
untuk kembali mengembangkan brandnya di ibu kota.
Sebelum rekan bisnis yang iya tunggu datang, Lauta menghubungi karyawanya agar segera di aturkan jadwal untuk meeting dengan orang yang mengajukan proposal tersebut sesegera mungkin.
. .
. . . . . . . . . . . . .
Setelah persentasi secara digital sebanyak
2 kali, akhirnya tiba lah waktunya Lauta untuk mengambil keputusan terakit
persetujuannya kepada orang yang ingin membangun franchise di dua tempat
sekaligus di Jakarta itu, sebenarnya gampang saja, Lauta hanya perlu bilang iya
dan dia akan mendapatkan keuntungan tanpa kerugian sama sekali, karena konsep
franchise adalah penggunaan brand tanpa harus mengeluarkan modal, namun pribahasa
“nila sestitik merusak susu sebelanga” menjadi pagar bagi Lauta untuk
memberikan ijin orang lain menggunakan brand nya.
Lauta hanya tidak mau, reputasi brand yang
selama ini telah iya bangun dengan mengorbankan banyak hal, rusak hanya karena
mitra franchise yang tidak menjaga kualitas.
Sebelum memberikan persetujuan, Lauta
berencana untuk melihat secara langsung tempat yang digunakan untuk membuka
usaha tersebut, iya selalu percaya bahwa penilaian lapangan secara langsung
sangat perlu dilakukan sebelum memulai usaha.
Menggunakan pesawat garuda yang berangkat
pagi hari dengan rute penerbangan Palembang-Jakarta, akhirnya Lauta akan
menginjakan kaki nya kembali di Jakarta. Jendela pesawat yang berbentuk lonjong
menyajikan pemandangan atas awan yang begitu memanjakan mata, lalu tiba-tiba
serangan badai kenangan menghampirinya,
bayangan Felisa bertubi-tubi menghujam fikirannya.
Tanpa direncanakan semua kenangan- kenangan
yang dulu pernah mengisi hari-hari Lauta muncul di kepala, seolah terdapat satu
tombol di kepalanya yang jika ditekan akan mengembalikan semua ingatan-ingatan
kebersamaanya dengan Felisa, dan iya tombol itu sepertinya telah ditekan.
Untungnya Lauta mampu terlelap beberapa saat dan memutuskan rantai kisah-kisah
itu berlanjut menari di fikirannya.
Sesampainya di Halim Perdana Kusuma, Lauta
langsung memesan kendaraan online untuk mengantarkannya ke salah satu Cafe di
daerah Pinang Ranti, tempat dulu iya biasa nongkrong sersama teman-temannya.
Kasur hotel bukanlah suatu hal yang begitu iya idamkan saat ini, melainkan
coffee latte kesuakaannya yang dulu selalu di sruput kala penat akan segala
macam problematika hidup menghampiri.
Kendaraan online yang di tumpangi Lauta
melaju cukup lancar, karena hari itu masih cukup siang jadi tidak ada macet
yang biasa suka mengganggu perjalanan, lagian Halim ke Pinang Ranti juga bukanlah
jarak yang terlalu jauh. Setelah membayar ongkos kendaraan yang membawanya itu,
lalu Lauta segera menuju ke meja pemesanan, menunjuk satu minuman yang selalu
iya sukai dengan tiga potong risoles isi yang di goreng hingga keemasan sebagai
temannya.
Bangku pojok berwarna hijau dengan meja
kayu yang berwarna kekuningan menjadi pilihan Lauta untuk meletakkan diri
sembari menunggu pesanannya tiba, sambil fokus membaca pesan-pesan masuk yang
sudah dari tadi mengganggu nya di perjalanan.
“Lauta !!” Panggil seseorang kepadanya.
“iya” jawab Lauta.
“Ini pak untuk pesanannya” balas seorang
pegawai café sambil meletakan kopi dan snack yang telah dipesan.
“Makasih ya” lanjut Lauta.
“Baik sama-sama pak”. Sembari meninggalkan Lauta
seorang diri.
Pesan yang begitu banyak menumpuk di hp
memaksa Lauta untuk membalasnya, selain karena pesan-pesan tersebut berhubungan
dengan pakerjaan, juga ada beberapa hal yang memang memerlukan approval-nya
segera, saat sedangan fokus tiba-tiba kembali ada orang yang memanggilnya,
namun kali ini dengan lebih lembut.
“Lauta……”
Hening sejenak………..
Lalu sambil mengangkat kepala dan
memalingkan mata dari layar handphone Lauta menjawab “iya”
“Heii, Apa kabar” tanya Felisa, yang
ternyata sudah ada dari tadi di depan kursi Lauta. Mereka sama-sama tidak
menyadari keberadaan satu sama lain. Panggilan karyawan cafe sebelumnya lah
yang menyadarkan Felisa.
“Heii, baik Fel, kamu apa kabar? Jawab Lauta
cepat.
“Baik kok” jawab Felisa sembari tersenyum
manis.
Senyuman yang selalu Lauta sukai, senyuman
yang terus Lauta lihat di walpaper laptop nya, senyuman yang hanya mampu iya kagumi
tanpa kembali berani untuk mengakui. Senyuman yang…….
“Eh kenalin, ini Aziz suamiku” lanjut Felisa
yang membatalkan semua ingatan Lauta akan dirinya.
Tamat.
Post a Comment for "Felisa (Cerita Pendek) "